Skip to main content

ETIKA FILSOFIS DAN BISNIS



Pendahuluan: Teori dan Tradisi Etika
Etika melibatkan pertanyaan yang mungkin paling penting yang pernah diajukan manusia: Bagaimana seharusnya kita menjalani hidup kita? Tentu saja pertanyaan ini tidaklah baru; setiap tradisi filsafat, budaya, politik, dan agama yang utama dalam sejarah manusia telah bergelut dengannya. Karena itu, tidak masuk akal untuk mengabaikan tradisi-tradisi ini seiring kita mulai meneliti permasalahan-permasalahan etis bisnis. 
Sebuah teori etika tidak lebih dari sebuah upaya untuk menyediakan jawaban sistematis atas pertanyaan etika mendasar: Bagaimana seharusnya manusia menjalanai hidupnya? Teori etika tidak hanya berupaya untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup, tetapi juga menyediakan alasan untuk mendukung jawaban tersebut.
Pengambilan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan mengharuskan adanya penalaran (reasoning) untuk membenarkan tindakan kita.Teori etika berusaha menyediakan pembenaran rasional atas pertanyaan “mengapa”kita harus bertindak dan memutuskan dengan cara tertentu. Siapapun dapat memberikan resep mengenai yang seharusnya kita lakukan dan bagaimana kita bertindak dan memutuskan dengan cara tertentu.Namunetika filosofis juga menjawab pertanyaan mengapa dengan cara menghubungkan resep tadi dengan sebuah penjelasan mendasar mengenai kehidupan manusia yang baik dan bermanfaat.
Banyak orang dan budaya diseluruh dunia mendasarkan pandangan etis maupun tradisi agama tertentu, Masakah praktis paling besar dari pendekatan ini adalah bahwa manusia memiliki perbedaan yang sangat besar dalam keyakinanagama mereka.Jika etika hanya didasarkan pada prinsip-prinsip agama, dan orang-orang tidak sepakat dengan pokok relawan agama tersebut. Maka etika tidak akan pernah lolos dari kondisi relativitas.
Tidak seperti etika agama, yang menjelaskan manusia dalam kerangka agama, etika filosofis menyediakan dasar pembenaran yang harus dapat diterapkan oleh semua orang tanpa melihat agama yang mereka yakini.


STUDI KASUS :
            Bayangkan seorang dosen ketika memberikan tugas kepada seorang mahasiswa dansetelah selesai diperiksa kemudian mengembalikan hasil tugas Sains dengan nilai yang sangat mengecewakan yaitu E.Namun anda sangat keberatan dengan nilai yang dosen berikan itu dan meminta penjelasannya kenapa dosen tersebut memberikan nilai yang sangat mengecewakan tersebut. Ternyata dosen tersebut memberikan penjelasan bahwa dia tidak percaya seorang penganut agama hindu dan seorang wanita dapat mengerjakan tugas tersebut.
            Ketika anda keberatan bahwa anggapan ini tidak adil dan salah, Dosen tersebut memberi penjelasan seorang relativis.Keadilan adalah pendapat pribadi”,kata dosen tersebut, “Siapa yang menentukan apa yang adil dan apa yang tidak adil?”Mahasiswa bertanya. Dosen tersebut bersikeras bahwa pandangannya tentang konsep keadilan adalah benar sebagaimana yang lain.Karena semua orang bergantung pada pendapat pribadi mereka, maka ia tidak meluluskan mahasiswa tersebut, menurut pendapat pribadinya, Ia tidak layak untuk lulus.
            Seorang penganut prinsip etika relativis berpendapat bahwa nilai-nilai etis itu relatif bagi orang-orang, budaya, atau waktu tertentu. Mereka menyangkal bahwa terdapat pembenaran yang masuk akal atau keputusan etis yang objektif. Ketika terjadi ketidaksepakatan etis antarorang atau budaya, para penganut prinsip etika relativis menyimpulkan bahwa tidak mungkin menyelesaikan perselisihan itu dan tidak pula membuktikan siapa yang benar atau yang lebih masuk akal dibandingkan yang lain.
            Terkait dengan studi kasus tersebut ada beberapa pertanyaan yang timbul yaitu :
·       Apakah anda menerima penjelasan tersebut dan berpuas diri dengan nilai tersebut?Jika tidak, bagaimana anda akan membela pandangan anda yang berseberangan itu?
·       Apakah ada fakta-fakta yang relevan yang akan anda pakai untuk mendukung tuntutan anda?
·       Nilai-nilai apa yang terlibat dalam perselisihan ini?
·       Alternatif-alternatif apa yang tersedia bagi anda?
·       Selain anda dan dosen anda, haruskah orang lain,pemegang kepentingan lainnya,terlibat dalam situasi ini?
·       Alasan-alasan apa yang akan anda berikan kepada dekan untuk mengajukan permohonan perubahan nilai?
·       Konsekuensi-konsekuensi apa saja yang ditimbulkan oleh tindakan profesor ini dalam pendidikan?
·       Jika pertimbangan dan bujukan logis tidak ampun, bagaimana caranya agar perselisihan ini dapat diselesaikan?

PEMBAHASAN
A.  Utilitarianisme: Mengambil Keputusan Berdasarkan Konsekuensi-konsekuensi Etis
Paham Utilitarianisme berangkat dengan keyakinan bahwa kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang kita ambil. Paham utilitarianisme memberitahu bahwa seharusnya kita bertindak dengan cara yang menghasilan konsekuensi menyeluruh yang lebih baik daripada alternated yang kita pertimbangkan. Konsekuensi-konsekuensi yang lebih baik adalah yang meningkatkan kesejahteraan manusia; kebahagiaan, kesehatan, martabat, integritas, kebebasan, dan kehormatan dari semua orang yang terpengaruh.
Penekanan untuk melakukan kebaikan yang paling besar bagi kepentingan orang yang paling banyak membuat paham utilitarianisme sebagai sebuah filsafat social yang memberikan dukungan kuat bagi institusi-institusi dan kebijakan-kebijakan demokrasi dan melawan segala macam kebijakan yang hanya bertujuan untuk menguntungkan segelintir kelompok social, ekonomi, atau politik minoritas. Karena penganut utilitarianisme mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi, dan karena konsekuensi dari tindakan kita bergantung pada fakta-fakta di setiap situasi, penganut utilitarianisme cenderung berpikir secara pragmatis. Biasanya pertimbangan penganut utilitarianisme juga menyediakan dukungan bagi tiap alternatif lainnya.
Utilitarianisme dan Bisnis: Memaksimalkan Keuntungan versus Pendekatan Kebijakan Publik
Satu gerakan dalam pemikiran utilitarianisme meminjam pemikiran Adam Smith, mengklaim bahwa pasar yang bebas dan kompetitif adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan utilitarianisme. Berdasarkan tujuan utilitarianisme ini, ekonomi pasar bebas neoklasik menyarankan kita bahwa perekonomian yang paling efisien adalah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme pasar bebas. Hal ini pada gilirannya akan mengharuskan para manajer bisnis memaksimalkan keuntungan.
Versi kedua dari kebijakan utilitarianisme yang berpengaruh mengarah pada para ahli kebijakan yang dapat memperkirakan hasil berbagai kebijakan dan menerapkan kebijakan yang akan memenuhi tujuan utilitarianisme. Para ahli ini, yang biasanya dilatih dalam ilmu-ilmu social seperti ekonomi, politik, dan kebijakan publik, sangat terbiasa dengan cara kerja lingkungan masyarakat, sehingga mereka berada di posisi untuk menentukan kebijakan mana yang dapat memaksimalkan kebaikan secara keseluruhan.
Masalah dalam Etika Utilitarianisme
ü  Kesulitan untuk menghitung, mengukur, membandingkan, dan mengkuantifikasi kebahagiaan sehingga satu masalah yang terjadi berikutnya adalah akan timbul kecenderungan untuk mengabaikan berbagai konsekuensi itu, terutama konsekuensi-konsekuensi yang merugikan kepada orang-orang yang tidak dekat dengan kita
ü  Intisari utulitarianisme adalah ketergantungannya pada konsekuensi-konsekuensi. Tindakan etis dan tidak etis ditentukan oleh akibat-akibat. Singkatnya, tujuan membenarkan cara.
ü  Karena utilitarianisme berfokus pada konsekuensi-konsekuensi secara keseluruhan, utilitaranisme terlihat siap mengorbankan kebaikan sekelompok orang untuk kebaikan keseluruhan yang lebih besar.

B.  Deontology: Mengambil Keputusan berdasarkan Prinsip Etis
Prinsip-prinsip etis dapat dianggap sebagai jenis peraturan, dan pendekatan etika ini berpendapat bahwa terdapat beberapa peraturan yang harus kita ikuti, walaupun dengan mengikutinya dapat mencegah terjadinya konsekuensi yang baik dan bahkan bisa menghasilkan konsekuensi yang buruk. Peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip menciptakan kewajiban yang mengharuskan kita untuk bertindak atau memutuskan dalam cara tertentu.
Sumber-sumber Peraturan
Pengambilan keputusan dalam sebuah konteks bisnis akan melibatkan banyak situasi dimana seseorang harus mematuhi peraturan walaupun konsekuensinya, dari sisi ekonomi atau bukan, sepertinya tidak diinginkan. Jenis-jenis peraturan yang harus kita ikuti adalah:
ü  Peraturan hukum
ü  Peraturan organisasi
ü  Peraturan profesional
Hak dan Kewajiban Moral
Setiap orang memiliki kewajiban dasar yang sama terhadap orang lain, dapat dikatakan bahwa setiap individu memiliki hak-hak moral dasar: hak untuk diperlakukan dengan rasa hormat, untuk mengharapakan orang lain memperlakukan kita sebagai tujuan bukan hanya sebagai alat, hak untuk diperlakukan sebagai sosok yang otonom.
Tugas dasar kita adalah untuk memperlakukan orang lain sebagai subjek yang mampu menjalani kehidupan mereka sendiri dan bukan semata-mata sebagai objek yang ada untuk kepentingan kita.
Kita dapat melihat dua hak yang berhubungan yang telah muncul sebagai hal yang mendasar dalam etika filosofis. Jika otonomi, atau “mengatur diri sendiri”, adalah karakteristik dasar dari sifat alami manusia, maka kebebasan untuk mengambil pilihan sendiri patut mendapat perlindungan khusus sebagai sebuah hak dasar (asasi). Namun karena semua manusia memiliki karakteristik dasar ini, perlakuan dan pertimbangan yang sama juga menjadi hak dasar.
Perbedaan antara Hak-hak Moral dan Hak-hak Legal
            Hak-hak moral dibangun dan dibenarkan berdasarkan pertimbangan moral,bukan legal. Hak-hak moral membangun kerangka kerja moral dasar bagi lingkungan legal itu sendiri. Hak-hak legal diberikan dalam yang berhubungan dengan perundang-undangan.
            Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin, bukan hanya sekedar penyesuaian atau asal taat terhadap aturan. Karena antara satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas penegakan hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabkila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan hukum,moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain
1.    Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab Undang-Undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
2.    Moral bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oeh pertanyaan atau diskusi Yng menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.
3.    Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah faktual
4.    Moralitas menyangkut perilaku batin seseorang
5.    Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku dikenakan sanksi yang jelas dan tegas
6.    Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya akan merasa tidak tenang
7.    Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat. Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.
Keadilan Sosial : Keadilan sebagai Asas Kesamaan menurut Rawls
            Keadilan sosial menurut Rawls berdasarkan asas kesamaan (fairness)sebagai prinsip sosial yang utamanya.Rawls menawarkan versi kontemporer dari teori kontrak sosial yang memahami peraturan etis dasar sebagai bagian dari sebuah kontrak implisit yang diperlukan untuk memastikan kerja sama sosial. Teori Rawls telah terbukti berpengaruh dalam teori politik, ekonomi, dan hukum. Teori Rawls mengenai keadilan terdiri dari dua komponen besar;sebuah metode untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya mengatur masyarakat, dan prinsip-prinsip spesifik yang berasal dari metode tersebut.

C.    Etika Keutamaan: Mengambil Keputusan berdasarkan Integritas dan Karakter
Etika keutamaan/kebaikan adalah sebuah tradisi dalam etika filosofis yang mencari deskripsi detail dan penuh terhadap sifat karakter itu, atau keutamaan yang akan membentuk kehidupan manusia yang baik dan utuh. Perbedaan etika keutamaan dari pendekatanm utilitarianisme dan deontologist adalah pada masalah egoism. Egoism adalah sebuah pandangan yang berpendapat bahwa manusia hanya bertindak karena kepentingan pribadinya sendiri.
            Etika keutamaan menggeser fokus dari pertanyaan mengenai apa yang seharusnya dilakukan seseorang, menjadi fokus kepada siapa orang yang dimaksud. Secara implisit dalam pembedaan ini adalah pengakuan bahwa identitas kita sebagai seorang pribadi sebagian dibangun dari keinginan,keyakinan,nilai-nilai, dan perilaku kita.

D.  Tinjauan Kembali Sebuah Model Pengambilan Keputusan untuk Etika Bisnis
            Dengan menganilisis berbagai dilema dengan teori-teori yang dijelaskan dan meninjau kembali sepanjang teks, kita akan lebih mampu untuk mendapatkan wawasan yang mendalam, meninjau berbagai perspektif yang mungkin saja terabaikan, bersikap empati atas dampak dari sebuah keputusan terhadap orang lain, peka terhadap perlindungan hak-hak dn kewajiban-kewajiban dasar, dan tetap sadar atas kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri dan integritas dan nilai-nilai seseorang.
Peninjauan kembali proses pengambilan keputusan itu dengan lebih mendetail yaitu
1.    Menentukan fakta-fakta
2.    Mengidentifikasi isu etis yang terlibat
3.    Mengidentifikasi para pemegang kepentingan
4.    Pikirkanlah alternatif yang ada
5.    Pertimbangkanlah bagaimana sebuah keputusan berpengaruh kepada para pemegang kepentingan
6.    Panduan

7.    Penilaim